Menkomdigi: PP Tunas Cegah Paparan Konten Negatif dan Adiksi Digital

Jakarta, 26/7 (ANTARA) - Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid mengatakan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Sistem Elektronik dalam Pelindungan Anak (PP Tunas) berperan melindungi anak-anak dari paparan konten negatif dan adiksi digital.
Meutya menyoroti makin meningkatnya risiko yang dihadapi anak-anak saat menggunakan internet dan media sosial. Tidak semua platform digital layak diakses bebas oleh anak, karena terdapat konten yang berisiko tinggi terhadap keselamatan dan kesehatan psikologis mereka.
“Platform dengan risiko tinggi hanya boleh diakses oleh anak-anak berusia 16 tahun ke atas, dan itu pun harus dengan pendampingan orang tua,” kata Meutya dalam keterangannya di Jakarta.
Dia menjelaskan, dalam regulasi PP Tunas, setiap platform digital memiliki klasifikasi batas usia anak yang berbeda-beda sesuai tingkat risikonya.
“Platform digital tidak bisa disamaratakan. Karena itu, pemerintah akan mengklasifikasikan akses berdasarkan kategori risiko platform, yaitu rendah, sedang, dan tinggi,” ujarnya.
Meutya menegaskan platform berisiko tinggi, seperti yang mengandung pornografi, kekerasan, atau rentan terhadap perundungan, akan dikenakan pembatasan usia yang ketat.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa klasifikasi usia anak dalam mengakses platform digital dibagi dalam beberapa jenjang antara lain di bawah 13 tahun yang hanya boleh mengakses platform yang sepenuhnya aman, seperti situs edukasi atau platform anak.
Usia 13–15 tahun diperbolehkan mengakses platform dengan risiko rendah hingga sedang, usia 16–17 tahun bisa mengakses platform dengan risiko tinggi tetapi harus dengan pendampingan orang tua.
Untuk usia 18 tahun ke atas, lanjutnya, diperbolehkan mengakses secara independen semua kategori platform.
Meutya mengatakan PP Tunas menjadi tonggak penting dalam menciptakan ruang digital yang lebih aman dan sehat untuk anak-anak, namun upaya perlindungan anak di ruang digital tidak hanya menjadi tugas pemerintah, tetapi juga membutuhkan peran aktif dari masyarakat, orang tua, dan anak-anak itu sendiri.
Meutya mendorong anak-anak agar lebih untuk melapor jika menjadi korban kekerasan di ruang digital. Menurutnya, anak-anak tidak boleh diam jika mengalami perundungan, penipuan, atau ajakan mencurigakan dari orang asing di media sosial.
“Kalau jadi korban perundungan, penipuan, atau dapat ajakan bertemu oleh orang asing, anak-anak jangan diam. Laporkan ke orang tua, guru, atau pihak berwenang. Negara hadir untuk melindungi kalian,” tegasnya di hadapan ratusan siswa.
Peran aktif dari semua pihak diharapkan dapat melindungi anak-anak Indonesia dari dampak negatif internet dan mendorong pemanfaatan ruang digital untuk hal-hal yang positif. (ANTARA/Farhan Arda Nugraha)
📬 Berlangganan Newsletter
Dapatkan berita terbaru seputar desa langsung ke email Anda.